Pages

Saturday, February 22, 2014

Skenario Cinta Kasih ? ( Bagian 1 )



            Bulan februari si bulan penuh cinta. Begitu banyak cerita baru yang terukir dari setiap orang. Dan akupun ingin berbagi apa yang aku rasakan, lihat, pelajari sampai apa yang aku sesali.

            Kalau sebagian besar kawula muda merayakan bulan ini adalah bulan kasih sayang atau dikenal dengan valentine, mungkin tidak denganku. Sebenarnya tidak ada alasan khusus mengapa aku merasa biasa saja dengan perayaan tadi. Bukan karena aku belum memiliki pasangan ( *kalau sudah berpasangan bisa jadi merayakan ? maybe ? hmm, I think no but just lets see. Well, forget it haha ) .



            Well, kalau boleh aku mengingat sejenak apa yang pernah ada dimasa lalu ketika memiliki hubungan khusus dengan seorang pria. Dunia serasa milik berdua, yang lain cuma ngontrak. Mau makan inget sama kamu, mau tidur inget sama kamu, mau apa saja inget sama kamu. Pikiran ini ya cuma kamu kamu dan kamu. Life is so beautiful I think. Belajar berbagi dengan ‘seseorang’ yang baru aku kenal tidak lebih dalam hitungan 12 bulan saja. Menceritakan siapa aku, apa saja yang aku suka, yang tidak kusuka sampai membagi waktu-waktu yang mungkin biasa dihabiskan bersama teman-teman, dan orang-orang terdekat menjadi bersama pasangan.

            Hmm, satu lagi. Mendengarkan apa yang pasangan kita katakan (*selalu) sampai menimbulkan statement ini pada ku dari orang-orang sekitar ‘ kamu menjadi irasional ‘.

Statement yang salah ? atau statement yang benar ? hanya aku yang tahu jawabannya. Hingga hubungan tersebut kandas dengan satu kata ‘berpisah’, akhirnya aku menyadari waktu aku memang irasional. Well, kisah yang sudah berlalu dan sudah menjadi sejarah, dikenangpun jangan hahaha.

            Pertanyaannya adalah apakah hal yang sama dirasakan orang lain juga ketika memiliki sebuah hubungan khusus dengan orang lain, tidak hanya dalam pacaran, mungkin dalam persahabatan atau hubungan lain yang juga dianggap penting ?

            Hari-hari ini aku mendengar banyak kisah bahagia, kisah pilu, juga kisah sedih. Hingga seseorang menganalogikan sebuah kisah dengan kisah seperti ini.

Ada seorang ayah dan gadis kecilnya yang kini beranjak dewasa. Rasa-rasanya sang ayah selalu memberikan apa yang putrinya butuhkan dengan cara dia. Terkadang membuat si gadis ini berdecak kagum dengan apa yang ayahnya lakukan. Terkadang menimbulkan tanda tanya besar kenapa ayahnya sering kali tidak memberikan yang dia inginkan. Tapi waktu dan kasih sayang tulus sang ayah mampu membuat sang gadis lupa akan tanya-tanya dalam benaknya.

            Suatu hari sang gadis bertemu dengan seorang pria yang dia anggap sama baiknya dengan ayahnya. Dia selalu punya cara untuk membuat gadis ini tersenyum bahagia. Beberapa waktu, apa yang mereka sebut dengan hubungan, tersembunyi dari sang ayah. Hingga si gadis merasakan bahwa inilah waktunya untuk dia memperkenalkan hubungan ini pada ayahnya.

            Kesan pertama biasa saja. Kesan kedua, masih biasa. Seolah sang ayah tidak merespon begitu baik pada si pria pilihan anaknya. Pulang lupa waktu, lupa kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan (ayah dan gadis kecilnya ), mulai menolak apa yang sang ayah minta, selalu ada alasan untuk tidak tetap tinggal.

            Merasa kehilangan waktu-waktu indah besama gadis kecilnya. Ah mungkin aku yang salah, aku yang kurang ‘bersahabat’ menerima kedatangan pria yang ia anggap baik itu ( Ayah dalam pikirnya ). Mulai bersahabat, mencoba mengerti kemana arah yang sedang mereka tempuh.

Tapi, ternyata waktu belum memberikan kabar baik. Gadis kecil itu tidak menjadi gadis kecil manis lagi ayahnya. Terkadang ayah merasa, tempatnya sudah terganti oleh orang lain.

Suatu hari ayah memberikan sebuah pertanyaan “ Apa kamu merasa bahagia nak ? “. Aku bahagia, aku menemukan kebahagiaan. Tapi ayah tidak merasakan kebahagian yang kamu rasakan. Ayah merasa kamu mulai menjauh. Apa yang pernah kita sepakati dulu tentang mana yang boleh dan mana yang tidak, sepertinya sudah tidak berlaku lagi.

Aku sudah besar, semuanya itu berlaku ketika aku belum dewasa. Aku tahu mana yang harus aku jalani. Ayah tidak berhak lagi dengan apa yang akan aku jalani.

Bersama secara fisik, tapi berpisah secara hati.

Kalau begini salahkah ?

Kalau begini siapa yang salah ?